Bertaut

Daftar Isi

Bertahun-tahun lamanya para ilmuwan, sastrawan dan filosofus telah memberitahu kita bahwa alasan satu-satunya kita menjalin hubungan dengan orang lain adalah tidak lain hanya untuk kepentingan pribadi masing-masing individu tersebut. Bahkan ilmu pengetahuan yang baru-baru ini datang dan mendasarkan diri pada falsafah evolusi Darwin lebih parah lagi dalam mengungkapkan makna hubungan soosial sejati ini. Mereka semakin mempertajam pemahaman yang sangat tidak bersahabat tentang hubungan sosial ini dan mengatakan bahwan hubungan ini adalah persaingan habis-habisan.

Dan dengan tegas saya mengatakan bahwa pendapat itu tidaklah benar, berdasarkan pengalaman yang saya dapat dan dari berbagai kisah-kisah inspiratif yang sudah saya baca. Salah satunya seperti kisah nabi Musa ‘alaihis salam, mari kita lihat kisah tersebut untuk memaknai apa arti sebenarnya dari hubungan sosial sejati ini atau biasa kita sebut dalam bahasa kita persahabatan.

Nabi Musa ‘alaihis salam adalah salah satu rasul ‘ulul azmi yang memperoleh mukjizat dari Allah subhanahu wa ta’alaa. Salah satu mukjizat yang diberikan adalah berupa tongkat yang bisa beruba menjadi makhluk. Beliau terlahir dari Bani Israil dan beliau diutus untuk melawan kekafiran raja yang amat kejam nan sombong pada kala itu, ya raja itu adalah Fira’un.

Pada masa itu Mesir berada dibawah kekuasaan Fira’un yang sangat kejam dan sombong. Ia enggan besyukur kepada Allah atas limpahan nikmat yang diberikan Allah kepadanya. Dan pada kala itu Musa ‘alaihis salam menganggap bahwa tak mudah untuk menghadapi Fira’un. Dengan kekuasaaanya yang mutlak, kekayaannya yang melimpah ruah dan kerajaannya yang amat luas. Ditambah lagi Fir’aun memiliki pengawal-pengawal yang setia serta pasukannya yang tidak diragukan lagi kekuatannya, dengan ini semua mengangkasalah penyakit sombong Fira’un.

Fira’un menyangka bahwa semuanya itu adalah miliknya, hasil usahanya sendiri bahkan ia merasa memiliki hidup dan mati seluruh rakyatnya. Kala itu tak mudah bagi Musa ‘alaihis salam untuk menyampaikan kebenaran kepada Fira’un terlebih Nabi Musa yang memiliki hutang budi pada keluarga Fira’un, terutama istri Fira’un Asiyah yang telah merawatnya dan mendidiknya dengan penuh kasih sayang dan kecukupan.

Itu berawal dari Asiyah yang menemukan Musa ‘alaihis salam di sungai Nil dan langsung jatuh cinta pada Musa kecil itu hingga ia memutuskan untuk merawat dan menjadikan Musa kecil itu anak angkatnya. Awalnya Fira’un menolak keras keinginan Asiyah namun berkat bujukan dari Asiyah akhirnya Fira’un pun luluh dan akhirnya menyetujui keinginan Asiyah. Musa pun tumbuh dengan segala kecukupan, kebaikan dan kasih sayang dari ibu angkatnya Asiyah.

Bukan karena itu saja Musa ‘alaihis salam merasakan berat untuk menyampaikan kebenaran kepada Fira’un namun juga karena Nabi Musa ‘alaihis salam yang kurang fasih dalam berbicara, tampak kacau dan gagapnya. Satu lagi Nabi Musa ‘alaihis salam pernah membunuh salah satu penduduk di negeri raja yang sombong itu yang dosanya terus menghantuinya.

Ketika beban kerasulan itu diamanahkan kepadanya, ia mengadu merasa tak mampu untuk mengembannya,

“Lisanku gagap lagi kelu” desahnya.

“Aku takut mereka akan mendustakanku” keluhnya.

Ya, itu mungkin jelas akan terjadi, melihatnya yang akan menyampaikan kebenaran namun apalah daya bicara bukanlah hal yang mudah baginya.

Tapi tak ada pilihan lain bagi Nabi Musa ‘alaihis salam, Allah telah memilihnya dan menetapkannya untuk menyampaikan kebenaran itu. Allah tak asal pilih Allah juga tidak hanya memberikan beban kerasulan kepadanya namun juga memberinya mukjizat sebagai pertolongan Allah untuknya dan bukti kebenarannya.

Tongkat yang ia lempar berubah menjadi ular, tangannya diangkat dan cahaya putih yang menyilaukan pun menerangi sekitarnya. Sungguh mukjizat dari Allah memang tak terkalahkan. Namun dengan itupun Nabi Musa ‘alaihis salam masih goyah tak sempurna, lalu memintalah Nabi Musa ‘alaihis salam satu hal lagi

“Dan Harun saudaraku jadikanlah ia pendamping yang menguatkanku” pintanya pada Rabb satu-satunya.

Allah pun mengabulkan permintaan Nabi Musa ‘alaihis salam tersebut hingga akhirnya Nabi Musa dan Harun bertaut dijalan-Nya saling menguatkan, menyempurnakan dan memberi dukungan satu sama lain. Hingga mereka pun bisa memimpin kaum yang sulit ditata dan mengalahkan raja nan sombong itu. Mereka selalu bersama dalam suka ataupun duka, mereka sejiwa sekata, dari membebaskan Bani Israil dari perbudakan hingga menyaksikan tenggelamnya Fira’un.

Mereka bertaut dijalanya, saling menyempurnakan, menguatkan untuk menghancurkan kezhaliman dan menegakkan kebenaran.

Dari kisah Musa dan Harun ini kita dapat mengambil hikmah dan kesimpulan bahwa hubungan sosial yang sejati atau biasa kita sebut dengan persahabatan itu bukan hanya untuk kepentingan pribadi atau bahkan persaingan namun hubungan sosial yang sejati itu adalah hubungan yang saling menguatkan, menyempurnakan dan mendukung satu sama lain.

Ya, itu pun yang aku rasakan saat ini, di masa-masa pengabdian ini dimana semua hal baru datang tanpa diminta. Dari mulai teman, aktifitas, keadaan hingga status. Yang awalnya santri sekarang sudah menjadi ustadzah dan mulai beradaptasi lagi dengan lingkungan yang baru. Ya, walaupun masih satu lahan, satu tempat bahkan masih satu bangunan.

Mulai belajar banyak hal dari belajar memahami, mengurus, mengatur, mendekatkan diri dengan santri, sabar, menahan marah dan banyak lagi tentunya. Kegiatanya pun berbeda yang dahulu hanya berpusat pada diri sendiri kini sudah berganti, ya berpusat dengan santri. Amanah itu terus berjalan setiap hari dari bangun tidur sampai tidur lagi.

Amanah itu dimulai dari bangun tidur. Kita bangun sekitar pukul 3 lebih lima belas lalu membangunkan santri untuk shalat tahajjud setelah itu istirahat sebentar sembari menunggu adzan Shubuh. Setelah shalat Shubuh kegiatan dilanjut dengan halaqah pagi sampai sekitar pukul 06.00 pagi lalu istirahat sebentar persiapan untuk mengajar sampai sekitar pukul 12.00. Setelah itu shalat Dzuhur dilanjut halaqah hadist lalu istirahat sampai Ashar. Setelah Ashar ada kegiatan lagi, halaqah sore sampai pukul 16.30. Setelah itu ada waktu untuk bersih-bersih diri sampai adzan Maghrib. Setelah shalat Maghrib kegiatan masih terus berlanjut kadang halaqah, kadang juga kajian yang biasanya dilakukan sampai isya. Setelah Isya’ masih ada kegiatan yaitu halaqah persiapan untuk ziyadah besok pagi. Setelah halaqah sampai pukul 20.00, lalu belajar malam atau biasa kita sebut BM yang kira-kira sampai pukul 21.00. Lalu saat pukul 21.30 kita berkumpul bersama santri do’a dan persiapan tidur.

Full memang kegiatan sehari-hari disini, belum lagi ditambah dengan jam mengajar yang bisa dibilang banyak, saat pembagian jadwal pelajaran aku terkejut dengan banyaknya jam yang aku dapat.

“Berwarna sekali jadwalku” desahku saat melihat jadwal yang aku dapat saking banyaknya jamku mengajar. Aku bilang begitu karena jadwal dibagikan sesuai dengan nama dan jatah jam mengajar, saat jadwal itu dibagikan aku melihat banyak sekali jamku mengajar hampir setiap hari kecuali hari Sabtu.

Lalu ku tengok kanan pada teman sebelahku “Wahhh, dikit anty, enak anty gak banyak gak tiap hari juga.”

“Hahah, takdir ini” katanya sambil tertawa.

“Gak papa jalani aja dulu bisa insya Allah”, tambahnya lagi untuk menyemangatiku.

Ada sedikit rasa iri kala itu, seperti beban ini bertambah, harus lebih extra menjalaninya. Rela atau tidak aku memang harus menerimanya.

Ditambah lagi di masa-masa ini kita berada pada titik paling rendah dalam hidup ini. Seakan-akan ujian datang bertubi-tubi, silih berganti, tiada henti. Dimana kesabaran kita benar-benar diuji dengan segala tingkah santri yang bisa dibilang diluar kendali. Dari mereka yang susah diatur selalu membangkang sampai benar-benar hancur. Disitu kita tidak dihargai sama sekali, ehhm jangankan menghargai rasa takut saja mereka tidak punya mereka berbuat semaunya tanpa berfikir, sampai kita heran bisa-bisanya mereka di usianya yang masih belia tapi mereka berfikir seperti orang dewasa, padahal orang dewasapun sepertinya tidak berfikir sejauh itu. Kita mencoba berbagai cara untuk melunakkan mereka tapi entahlah mereka sama saja, mereka hanya menambah beban kita, ini benar-benar menguji hati dan mental kita.

Di situ kita berjalan bersama saling menguatkan untuk menata dan memperbaiki lagi apa yang sudah rusak itu. Ya, tak mudah memang bagi kita untuk melewati masa-masa itu, apalagi masa-masa itu adalah masa-masa kita meraba. Meraba apa yang harus kita lakukan, mengingat kita baru lulus dan belum genap setahun malah, jadi masih harus banyak belajar.

Kita berfikir tak mudah untuk menghadapi titik itu, untuk merubah, memperbaiki dan menata sifat-sifat mereka namun tak ada pilihan lain untuk kita selain harus, karena Allah telah memberikan amanah itu kepada kita dan mau tidak mau kita memang harus berjuang. Di sisi lain kita juga yakin jika Allah pasti akan membantu kita memberi kita jalan terbaik untuk keluar dari titik ini.

Dan benar saja Allah menolong kita dan memberikan jalan untuk kita keluar bersama-sama dari titik itu. Lalu ditambah dengan dukungan, semangat dan kepercayaan dari asatidz dan asatidzah di sini dan satu lagi karena hubungan sosial sejati kita, akhirnya kita benar-benar bisa keluar dari titik itu bersama-sama. Sedikit demi sedikit kita mulai merubah dan memperbaiki mereka, walaupun belum bisa dibilang sempurna setidaknya lebih baik dari sebelumnya.

Dari pengalamanku dimasa-masa pengabdian ini banyak sekali hikmah dan pelajaran yang bisa aku ambil, dari mulai belajar memahami, tidak mudah mengeluh, sampai belajar menguatkan hati dan mental. Dan yang sangat membekas pada diri ini adalah tentang hubungan sosial sejati itu yang ternyata mempunyai dampak positif dalam kehidupan ini, bukan negatif seperti pendapat-pendapat para filosofus yang aku sebutkan di awal tadi.

Dan dari sini juga, aku menemukan apa makna sebenarnya dari hubungan sosial sejati itu, yaitu saling menguatkan, menyempurnakan, memahami dan mendukung satu sama lain. Tentu makna ini kalah indah dari makna persahabatan yang dimiliki nabi Musa ‘alaihis salam karena beliaulah yang memiliki seindah-indah makna persabahatan.

Dan satu lagi, hikmah yang bisa aku ambil dari sini, tidak ada yang bisa kita lakukan sendirian di dunia ini walaupun kita sehebat-hebat manusia, karena kita selalu butuh teman untuk berpegang. Dan ya, jangan lupakan ini bahwa kita selalu butuh Allah dalam setiap detik kita, karena tanpa-Nya kita bukanlah apa-apa, kita hanya debu-debu yang berterbangan.

Jangan khawatir kawan-kawan, tanpa ku minta amigdala-ku sudah menyimpan semua kenangan kita, yang aku yakini suatu saat nanti di garis waktu tertentu entah kapan itu kita pasti akan merasakan setumpuk rindu masa-masa ini. Semoga di garis waktu yang akan datang kita bisa bersua kembali tertawa bersama berbagi bersama.

Terima kasih kepada kalian semua yang telah menyemangatiku, mendukungku dan mengajariku banyak hal terutama mengajariku akan makna persahabatan. Semoga kita semua selalu dalam lindungan-Nya, penjagaan-Nya dan naungan-Nya. Dan semoga kita tidak hanya bertaut di sini saja, tapi juga di kehidupan yang kekal yang akan datang, dalam segala kebahagiaan dan kenikmatan.

Penulis : Hani Nur Fitriani

Posting Komentar