Pengertian Ahlus Sunnah Wal Jama’ah

Daftar Isi

Pengertian Ahlus Sunnah

Ibnu Manzhur mengatakan: “Ahli Madzhab: adalah orang yang mengamalkan agama sesuai madzhab (jalan) tersebut. Ahli Islam berarti: orang yang beragama Islam. Ahli Amr artinya: waliyul amri (pemerintah-penj.). Ahli Bait yakni: penghuninya. Ahli fulan artinya: orang yang paling dekat dengannya. Dan Ahli Bait Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam yakni: istri-istri, anak-anak dan keluarga beliau”.[1]

Baca artikel terkait (sebelumnya): Pengertian Manhaj

Dalam Al-Mu’jam Al-Wasith disebutkan: “Ahli adalah: kerabat, keluarga dan istri. Dan Ahli sesuatu berarti: pemiliknya. Ahli daar dan sejenisnya: penghuninya. Dalam sambutan biasa dikatakan: “Ahlan wa sahlan” berarti: kamu (sungguh sedang) mendatangi keluargamu sendiri dan tinggal di tempat yang mudah bagimu”.[2]

Di dalam Al-Qur`an disebutkan: “Allah hanya ingin membersihkan kotoran darimu, wahai Ahli bait”. [QS. Al-Ahzab: 33]

Adapun kata “Sunnah” apabila kita merujuk ke kamus-kamus Bahasa Arab, maka akan kita temukan makna yang banyak dari kata tersebut, diantaranya bermakna: “biografi” (perjalanan hidup); yang baik maupun yang buruk. Adapun “sunnatullah”; yakni: aturan-Nya, perintah-Nya, larangan-Nya dan kehendak-Nya.

Dalam Al-Wasith disebutkan: “(sunnah) adalah kisah perjalanan hidup yang terpuji atau pun tercela. Sedangkan (sunnatullah) adalah ketentuan-Nya atas para makhluk. Adapun sunnah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam adalah segala hal yang disandarkan kepada beliau baik berupa ucapan, perbuatan, atau persetujuan. Dalam istilah syar’i sendiri, (sunnah) adalah perbuatan yang terpuji dalam agama yang tidak termasuk fardhu dan tidak diwajibkan.”[3]

Di dalam Al-Qur'an dikatakan:

وَما مَنَعَ النَّاسَ أَنْ يُؤْمِنُوا إِذْ جاءَهُمُ الْهُدى وَيَسْتَغْفِرُوا رَبَّهُمْ إِلَّا أَنْ تَأْتِيَهُمْ سُنَّةُ الْأَوَّلِينَ أَوْ يَأْتِيَهُمُ الْعَذَابُ قُبُلًا

“Dan tidak ada (sesuatu pun) yang menghalangi manusia untuk beriman ketika petunjuk telah datang kepada mereka dan memohon ampunan kepada Tuhannya, kecuali (keinginan menanti) datangnya hukum (Allah yang telah berlaku pada) umat yang terdahulu atau datangnya azab atas mereka dengan nyata. [QS. Al-Kahfi: 55]

Dalam hadits disebutkan:

مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً، فَلَهُ أَجْرُهَا، وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ، مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ، وَمَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً سَيِّئَةً، كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ، مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ

“Barang siapa yang menegakkan sunnah yang baik dalam Islam, maka baginya pahalanya, dan pahala orang yang mengamalkannya setelahnya, tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun. Dan barang siapa yang memasukkan sunnah yang buruk dalam Islam, maka ia akan menanggung bebannya dan beban orang-orang yang mengikutinya setelahnya, tanpa mengurangi beban mereka sedikit pun.”[4]

Pengertian Jama’ah

Jama’ah secara bahasa artinya: jumlah yang banyak, kelompok, dan perkumpulan.

Ibnu Faris mengatakan dalam Al-Maqaayiis: “(جَمَعَ) huruf jim, mim dan a'in adalah satu asal yang menunjukkan gabungan (pertemuan) suatu hal.”[5]

Dalam Al-Qur`an dikatakan:

وَإِذْ قَالَ مُوسَى لِفَتَاهُ لَا أَبْرَحُ حَتَّى أَبْلُغَ مَجْمَعَ الْبَحْرَيْنِ أَوْ أَمْضِيَ حُقُبًا

“Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada pembantunya, "Aku tidak akan berhenti berjalan sebelum sampai ke pertemuan dua laut; atau aku akan berjalan terus sampai bertahun-tahun.” [QS. Al-Kahfi: 60]

Dalam Hadits disebutkan:

صَلاَةُ الجَمَاعَةِ تَفْضُلُ صَلاَةَ الفَذِّ بِخَمْسٍ وَعِشْرِينَ دَرَجَةً

“Shalat berjamaah lebih diutama daripada shalat sendiri sebanyak dua puluh lima derajat.”[6]

Pengertian Ahli Sunnah wal Jama’ah

Istilah ahlu sunnah wal jama'ah tidak termasuk perkara tauqifiyah (ketetapan syar’i), melainkan digunakan untuk menyebut kelompok dari kaum muslimin yang memiliki sifat tertentu yang berbeda dengan kelompok lainnya; dari segi keteguhan mereka dalam memegang erat sunnah Nabi, dan melazimi jama’ah. Para ulama telah menyebutkan beragam definisi dari istilah ini, akan tetapi definisi-definisi tersebut berkutat pada satu makna.

Syaikh Ibnu Baaz rahimahullah mendefinikan mereka bahwa:

Ahlu sunnah wal jama'ah: adalah orang-orang yang meneladani kehidupan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabat, mereka mematuhi sunnah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Mereka adalah para sahabat, kaum tabi'in, dan para imam yang terdepan dalam menyampaikan huda (petunjuk). Mereka adalah orang-orang yang senantiasa istiqomah dalam ittiba’ (mengikuti sunnah), menjauhi bid’ah pada setiap tempat dan waktu, dan mereka akan senantiasa ditolong Allah hingga hari kiamat.”[7]

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

يَوْمَ تَبْيَضُّ وُجُوهٌ وَتَسْوَدُّ وُجُوهٌ

“Pada hari yang di waktu itu ada muka yang putih berseri, dan ada pula muka yang hitam muram” [QS. Ali Imran: 106]

Yakni hari kiamat, ketika wajah ahlu sunnah wal jama'ah menjadi putih dan wajah ahlu bid'ah dan perpecahan menjadi hitam.

Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam telah mengabarkan bahwa, sesungguhnya umat ini akan terpecah menjadi banyak golongan, dan terdapat perbedaan pendapat yang besar. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

ألا إنَّ مَن قبلَكم من أهلِ الكتابِ افتَرقوا على ثِنتين وسبعين مِلَّةً، وإنَّ هذهِ المِلَّةَ ستَفترِقُ على ثلاثٍ وسبعين: ثِنتانِ وسبعونَ في النَّارِ، وواحدةٌ في الجنَّةِ

“Ketahuilah sungguh umat sebelum kalian dari kalangan Ahlu Kitab telah terpecah belah menjadi 72 golongan, dan umat ini (Islam) pun akan terpecah belah menjadi 73 golongan, 72 golongan di neraka sedangkan satu golongan di surga.”[8]

Kesimpulan:

Dari penjabaran di atas dapat disimpulkan bahwa: Ahlu sunnah wal jama'ah adalah para sahabat Rasulullah radhiyallahu ‘anhum, karena mereka adalah umat yang paling mengerti sunnah, paling memahaminya, dan paling bersemangat untuk mengamalkannya. Kemudian, mereka menyampaikannya (kepada generasi penerus) dengan jalan riwayah, dirayah (pemahaman isi kandungan) dan manhaj yang lurus. Kemudian orang-orang yang mengikuti mereka dari kalangan tabi'in dan tabi’ tabi’in, serta setiap orang yang mengikuti jejak mereka dengan baik hingga hari kiamat. Merekalah kelompok yang selamat dan yang ditolong Allah Ta’ala, sebagaimana ditunjukkan oleh baginda Rasul shallallahu 'alaihi wa sallam dalam sabdanya :

لَا تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي ظَاهِرِينَ عَلَى الْحَقِّ لَا يَضُرُّهُمْ مَنْ خَذَلَهُمْ حَتَّى يَأْتِيَ أَمْرُ اللَّهِ وَهُمْ كَذَلك

“Tidak akan pernah sirna (akan selalu ada) sekelompok dari umatku yang dimenangkan atas kebenaran, tidak akan membahayakannya orang-orang yang memusuhinya hingga hari kiamat sedangkan mereka tetap seperti itu.”[9]

Dalam hadits tersebut, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menasehati para sahabat untuk menetapi jama'ah kaum muslimin, serta mengikuti sunnahnya dan sunnah Al-Khulafa` Ar-Rasyidin, dan memperingatkan perpecahan serta perkara yang baru, atau bid'ah dalam agama.

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ، وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا، فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا، فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ، تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ، وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ، فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ، وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ

“Aku wasiatkan kepada kalian untuk bertakwa kepada Allah, mendengar dan taat (kepada penguasa), meskipun kalian dipimpin oleh budak Habasyi. Dan sesungguhnya siapa di antara kalian yang masih hidup sepeninggalku niscaya ia akan melihat perselisihan yang banyak. Maka wajib atas kalian untuk berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah para Khulafa`ur Rasyidin yang mendapatkan petunjuk. Gigitlah sunnah tersebut dengan gigi geraham kalian, dan hati-hatilah kalian dari perkara yang diada-adakan, karena setiap bid’ah adalah sesat.”[10]

Baca artikel terkait (selanjutnya): Definisi Pelaku Penyimpangan Dari Kalangan Ahli Kiblat



[1] Ibnu Manzhur, Lisan Al-’Arab (Riyadh: Daar ’Alam Al-Kutub, 2003), jld. 11, hlm. 29.
[2] Majma’ Lughah ’Arabiyah Kairo, Al-Mu’jam Al-Wasith (Mesir: Maktabah Asy-Syuruq Ad-Dauliyah, 2011), hlm. 31.
[3] Majma’ Lughah ’Arabiyah Kairo, hlm. 456.
[4] Muslim, Shahih Muslim (Beirut: Daar Al-Kutub Al-’Alamiyah), nmr. 1017.
[5] Ibnu Faris, Mu’jam Maqaayiis Al-Lughah (Daar Al-Fikr, 1979), jld. 1, hlm. 479.
[6] Bukhari, Shahih Al-Bukhari (Riyadh: Daar As-Salaam, 1999), nmr. 646.
[7] Ibnu Baz, ’Aqidah Ahli As-Sunnah Wa Al-Jama’ah (Su’udiyah: Daar Ibnu Khuzaimah, 1998).
[8] Abu Dawud, Sunan Abu Dawud (Daar Ihya As-Sunnah An-Nabawiyah), nmr. 4597.
[9] Muslim, nmr. 1920.
[10] Abu Dawud, nmr. 4607.


Penulis:
Ustadz Nopi Indrianto, B.A, M.H
حَفِظَهُ اللهُ

Posting Komentar