Tujuan Bergaul Dengan Para Penyimpang Dari Ahli Kiblat

Daftar Isi

1. Menyampaikan dan Membela Kebenaran

Di antara tujuan bergaul dengan para penyimpang yaitu dalam rangka menyampaikan dan menjelaskan kebenaran, baik terkait aqidah, ibadah maupun masalah muamalat. Sebagaimana agama ini telah sempurna dan paripurna syariatannya, maka tidak ada peluang bagi kita untuk berinovasi dalam urusan agama.

Allah Subhanahu wa Ta'ala telah berfirman:

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا

“Pada hari ini telah aku sempurnakan agamamu untukmu,dan telah aku cukupkan nikmatku bagimu, dan telah aku ridhai Islam sebagai agamamu”. [QS. Al-Maidah: 3]

Karena tidak ada cara lain untuk menyampaikan dan membela kebenaran kecuali dengan mempergauli mereka; tentunya dengan berperilaku yang baik dan mengajak mereka ke jalan yang lurus dengan hikmah.

Allah azza wa jalla telah berfirman di dalam kitab-Nya yang mulia:

وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

“Dan hendaklah diantara kalian ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang ma`ruf dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung”. [QS. Ali Imran: 104]

Sebagaimana hujjah Allah Ta`ala telah tegak dengan mengutus para rasul serta menurunkan kitab, maka tidak ada lagi alasan dan udzur untuk tidak mengetahui kebenaran.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

رُسُلًا مُبَشِّرِينَ وَمُنْذِرِينَ لِئَلَّا يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَى اللَّهِ حُجَّةٌ بَعْدَ الرُّسُلِ

“Rasul-rasul itu adalah sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan, agar tidak ada alasan bagi manusia untuk membantah Allah setelah para rasul diutus”. [QS. An-Nisaa: 165]

Ini berlaku secara umum, adapun terkait masing-masing individu, maka tegaknya hujjah didasarkan pada situasi dan kondisi mereka1; mengingat adanya perbedaan letak geografis dan sosial ekonomi.

2. Menjelaskan dan Menangkal Syubhat dengan Hikmah

Dengan mempergauli mereka, maka kita bisa menjelaskan syubhat-syubhat yang ada pada mereka, sehingga kita bisa menyelamatkan mereka dari ketergelinciran dan kesesatan.

Seorang da`i, apabila di hadapannya ada syubhat, maka mau tidak mau dia harus membantahnya dan memberi peringatan, guna menunjukkan kepalsuan dan kebatilannya. Karena syubhat merupakan penghalang dari melihat kebenaran dan sebab lemahnya pandangan dan penglihatan. Sebagaimana ia menghalangi seseorang dari merasakan adanya penyakit dan butuhnya dia kepada obat-obatan. Maka menghilangkan syubhat perlu dengan hujjah dan bukti. Akan tetapi haruslah dengan cara yang terang dan jelas, serta penjelasan yang baik, disertai dengan adab yang baik dalam bertutur kata, dan lembut dalam berucap, tanpa provokasi dengan kebohongan dan fitnah; yang mana hal tersebut justeru akan mendorongnya untuk menang debat dan marah hanya untuk membela diri, serta menjadi tidak terkontrol dalam berucap.2

Syaikh Sholeh bin Abdul Aziz bin Muhammad Alu Syaikh berkata: “Diantara karakter salafus shaleh: bahwasanya mereka bersemangat dalam membantah syubhat terkait agama... mereka membantah syubhat secara ilmiah terhadap orang-orang yang ingkar dan menyimpang dalam permasalahan akidah dan kewajiban menetapi jama`ah.”3

Allah ta`ala berfirman:

ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik, dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik”. [QS. An-Nahl: 125]

Diantara sikap hikmah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan kelembutannya terhadap umat manusia, sebagaimana yang telah dikabarkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu `anhu: Bahwasanya ada seseorang dari suku Arab Badui kencing di masjid, lalu orang-orang pun ingin mengusirnya, maka Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pun bersabda kepada mereka:

دَعُوهُ، وَأَهْرِيقُوا عَلَى بَوْلِهِ ذَنُوبًا مِنْ مَاءٍ، أَوْ سَجْلًا مِنْ مَاءٍ، فَإِنَّمَا بُعِثْتُمْ مُيَسِّرِينَ وَلَمْ تُبْعَثُوا مُعَسِّرِينَ

“Biarkan dia, dan siramlah bekas kencingnya dengan setimba air, atau dengan seember air, sesungguhnya kalian diutus untuk memberi kemudahan dan tidak diutus untuk membuat kesulitan.”4

3. Menarik Mereka Agar Kembali ke Jalan yang Lurus

Sebaik-baiknya amalan adalah mengajak para pelaku penyimpangan kepada kebenaran dan kembali padanya. Pada amalan tersebut ada pahala yang agung, yang mana lebih baik dari pada unta merah.

Nabi shallahu alaihi wa salam bersabda:

فَوَاللَّهِ لَأَنْ يَهْدِيَ اللَّهُ بِكَ رَجُلًا خَيْرٌ لَكَ مِنْ أَنْ يَكُونَ لَكَ حُمْرُ النَّعَمِ

“Demi Allah, sekiranya Allah memberi petunjuk kepada seorang laki-laki melalui perantaramu, maka itu lebih baik bagimu dari pada unta merah.”5

Sebagaimana Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mempergauli pembantunya yang beragama yahudi dengan muamalah yang baik, beliau menjenguknya ketika sedang sakit, maka kemudian dia pun masuk Islam.

Diriwayatkan oleh Anas radhiallahu `anhu, dia berkata:

“Dahulu ada seorang anak Yahudi yang bekerja membantu Nabi shallallahu `alaihi wa salam, ketika itu dia menderita sakit, maka Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menjenguknya, beliau duduk di sisi kepalanya lalu berkata: “Masuklah Islam!” Lalu anak itu memandang ke arah bapaknya yang berada di dekatnya. Lantas bapaknya berkata: “Taatilah Abul Qasim shallallahu 'alaihi wa sallam! Maka anak itu masuk Islam. Kemudian Nabi keluar sambil bersabda: “Segala Puji bagi Allah yang telah menyelamatkan anak itu dari neraka.”6

Demikian yang dilakukan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam terhadap seorang Yahudi, bagaimana terhadap seorang muslim? tentunya lebih baik. Hal itu tidak lain untuk menarik hatinya agar menerima Islam agama yang hak.

Apabila bergaul dengan orang kafir disyariatkan dalam rangka menunjukkan mereka kepada Islam, maka lebih disyariatkan lagi untuk bergaul dengan sesama muslim yang menyimpang, dan lebih dibutuhkan lagi, dalam rangka menarik hatinya agar kembali kepada kebenaran; beraqidah, beribadah dan bermuamalah dengan benar, serta kembali kepada jalan yang lurus di atas cahaya petunjuk.

4. Berdakwah kepada Allah dengan Lemah Lembut

Sesungguhnya diantara akhlak Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam adalah beliau mempergauli orang dengan lemah lembut, penuh rahmat dan kasih sayang.

Allah `azza wa jalla telah membentuk karakter beliau demikian, sebagaimana Dia kabarkan di dalam Kitab-Nya:

فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ

“Maka berkat rahmat Allah engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras dan berhati keras, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu. Karena itu maafkanlah mereka dan mohonkanlah ampunan untuk mereka dan bermusyawarah dengan mereka dalam urusan itu, kemudian apabila engkau telah memutuskan sesuatu, maka bertakwalah kepada Allah. Sungguh Allah mencintai orang-orang yang bertakwa.” [QS. Ali Imran: 159]

Sesungguhnya sikap lemah lembut akan menghiasi pemilikinya, dan akan melembutkan siapa saja yang mendapatinya, sehingga dia mau menerima nasihat dan kebenaran yang ditujukan kepadanya.

Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ الرِّفْقَ لَا يَكُونُ فِي شَيْءٍ إِلَّا زَانَهُ، وَلَا يُنْزَعُ مِنْ شَيْءٍ إِلَّا شَانَهُ

“Sesungguhnya sifat lemah lembut itu tidak terdapat pada sesuatu melainkan akan menghiasinya, dan tidaklah dicabut dari sesuatu melainkan akan membuatnya menjadi buruk.”7

Oleh karena itu, hendaknya kita tetap mempergauli saudara-saudara seiman kita yang menyimpang dengan lemah lembut, dalam rangka mengajak mereka ke jalan Allah yang lurus, dengan harapan agar mereka kembali taubat dan bersatu dengan jama`ah kaum muslimin, semoga Allah senantiasa memberikan taufik-Nya kepada kita semua, aamiin.



  1. Usman Ali Hasan, Manhaj Al-Jadal Wa Al-Munazharah Fi Taqrir Masa`il Al-I’tiqad (Riyadh: Daar Isybilia, 1999).
  2. Abdul Karim Zaidan, Ushul Ad-Da’wah (Oman: Maktabah Al-Basya`ir, 1990), hlm. 428.
  3. Shalih bin Abdul Aziz Alu Syekh, Ta`shil Al-Manhaj Ad-Da’awiy Fi Dhau’ Al-Kitab Wa As-Sunnah Wa Fahmi As-Salaf Ash-Shalih (Riyadh, 2010), hlm. 65.
  4. Bukhari, nmr. 6128.
  5. Bukhari, nmr. 3009.
  6. Bukhari, nmr. 1356.
  7. Muslim, nmr. 2594.

Penulis:
Ustadz Nopi Indrianto, B.Sh, M.H
حَفِظَهُ اللهُ

Posting Komentar